Satu persatu wali Allah telah pergi meninggalkan kita. Terakhir,
kemarin tanggal 28 Agustus 2010 / 19 Ramadhan 1431 H, Ust. Hasan Bin
Muhammad Baharun yang pergi ke haribaanNya pada usia 96 tahun. Matahari
ilmu yang telah menerangi Nusantara ini telah mengakhiri sinarnya di
dunia. Beliau terkenal dengan kesabaran dan ketawadhuannya, bahkan
diriwayatkan selama berpuluh-puluh tahun mengajar beliau tidak pernah
marah sekalipun pada muridnya.
Habib Hasan Baharun
termasuk habib tertua di Indonesia. Dia hidup di enam generasi, mulai
dari zaman Belanda, Jepang, Kemerdekaan RI, Orla, Orba, hingga era
Reformasi. RIBUAN warga yang bertakziah, tampak menyemut di sebuah
tanah lapang di depan rumah Habib Hasan Muhammad Baharun, 95, di
Kampung Arab, Kelurahan Kademangan, Kecamatan Bondowoso, Minggu sore
kemarin (29/8).
Habib Baharun, demikian masyarakat luas
menyebutnya, telah wafat pada Sabtu malam di Rumah Sakit Daerah (RSD)
dr Soebandi Jember. Habib Baharun meninggal dunia setelah mendapat
perawatan intensif selama tiga pekan dari para dokter.
Saat
prosesi pemakaman, tampak warga berebut mengusung keranda. Selanjutnya,
para pentakziyah membawa jasad Habib Baharun ke Masjid Al Awwabin, yang
jaraknya sekitar 300 meter dari rumah Habib Baharun untuk disalati.
Bahkan, tampak putra sulung Habib Baharun, yaitu Prof Dr Muhammad Bin
Hasan Baharun, yang notabene adalah Rektor Unas Bandung, memberikan
kata sambutan. Termasuk, Bupati Bondowoso Amin Said Husni memberikan
sepatah dua patah kata.
"Kita telah kehilangan ulama
besar, yang levelnya bukan saja nasional. Tetapi, levelnya sudah
bertaraf internasional," kata Prof Dr Muhammad Bin Hasan Baharun kepada
para jamaah yang memadati ruangan Masjid Al Awwabin.
Selanjutnya,
Prof Dr Muhammad Bin Hasan Baharun menjelaskan, jika ayahandanya dalam
mendidik anak-anaknya tidak pernah emosional. "Abah saya, tidak pernah
marah-marah. Beliau sangat sabar sekali," katanya.
Bahkan,
kata Prof Dr Muhammad Bin Hasan Baharun, meski dirinya bergelar
professor dan doktor, jika dibandingkan dengan kekayaan intelektual
ayahandanya, dirinya tidak berarti apa-apa. Ayahandanya juga hidup
dalam kesederhanaan. "Tidak punya kekayaan material atau duniawi.
Beliau hidup sederhana sekali," katanya. Oleh sebab itu, masyarakat
merasakan kehilangan yang sangat besar.
Berikut ini adalah riwayat hidup beliau.
Ust. Hasan merupakan alumnus Madrasah Al-Khairiyah Surabaya, pada saat
jaya-jayanya institusi pendidikan (yang terbilang) tertua di Jawa
Timur itu. Sejak usia sekitar 15 tahun sudah mulai mengajar dalam
bimbingan para ustadz dan masyaikh yang ekstra disiplin. Darah daging
sebagai ustadz bukan terjadi karena kebetulan, melainkan rupanya
diturunkan dari orangtuanya, yang juga seorang guru agama dan dai.
Cita-citanya sejak kecil- lelaki kelahiran Gresik ini- menjadi pendidik
memang kesampaian. Sejak bersekolah secara formal dan intensif selama
sekitar 10 tahun di Perguruan Al_Khairiyah itu, ayah dari 3 anak (dan
kakek dari 11 cucu ini) nyaris tak pernah bekerja lain kecuali
mengajar & mendidik siswa dalam bidang studi agama & bahasa
Arab. Selain pernah mengajar di Madrasah al-Islamiyah(Bangil) &
Madrasah Al-Khairiyah(Banyuwangi), beliau juga cukup lama mengajar di
Madrasah Al-Khairiyah Bondowoso (sebuah institusi pendidikan agama yang
terbilang tertua pula sesudah yang di Surabaya itu). Sampai tahun 90-an
beliau menjabat sebagai pengasuh lembaga pendidikan mulai
TK-TPA-MI-MTs-MA putra-putri, di samping ada lembaga sosialnya.
Di luar lembaga itu, beliau juga menjadi tenaga edukatif luar biasa di
Lembaga Kader Fuqaha / Ma'had Aliy, Institut Agama Islam
Ibrahimy(IAII), Pondok Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo (Situbondo).
Lembaga ini merupakan proyek PB NU yang diprakarsai KH As'ad Syamsul
Arifin (sesepuh & Mustasyar 'Am), & mahasiswanya terdiri dari
kiai muda & sarjana lulusan jurusan bidang studi agama. Di sini
beliau mengajar bidang studi Falsafah Al-Tasyri' & Fiqh al-Sirah.
Dalam usia masa pensiun(70an) Beliau tetap mengajar & berdakwah
keliling, tanpa memandang medan, dari desa-desa terpencil sampai
pengajian elit seperti Samadi yang dipelopori Direktur Bank Bumi Daya
Jember itu.
Selama lebih dari 10 tahun, di Bondowoso beliau
mengasuh Dakwah Umum Pengajian Tafsir AlQuran di Masjid Jami', Jl. KH
Hasyim Asyari, seminggu dua kali, sebuah pengajian langka setidaknya
kala itu, yaitu sebuah kajian tafsir alquran kontemporer.
Buah penanya antara lain: Ayahbunda Nabi SAW, Insan Kamil (buku tebal
terjemahan karya Prof.DR. Muhammad bin Alwy al-Maliky), Tasawuf dalam
Perspektif Islam, Tanya Jawab Masalah Agama yang Aktual, Tafsir
Kontekstual, Bunga Rampai Hikmah Agama, dll. Di samping itu ada juga
beberapa karyanya yang dicetak stensilan unutk kalangan terbatas berupa
pelajaran, bahan kuliah umum, makalah seminar dan sarasehan serta
beberapa kumpulan(diwan) syair(puisi Arab) yang bernafaskan madah dan
puja-puji kepada Rasulullah SAW serta masalah kelmuan lainnnya. Selain
itu ada juga kaset dakwah yang disebarkan keopada para muridnya.
Para santrinya yang tersebar kemana-mana di antaranya ada yang membuka
pesantren, menjadi da'i, pejabat, pengusaha,tentara, dll. Ustadz yang
pernah menjabat sebagai penasihat utama Lembaga Pengkajian, Penelitian
dan Pengembangan Islam (LP3I) ini pada akhir hayatnya masih tetap
enerjik mengisi tabligh dan berbagai majlis diskusi ilmiah di pelbagai
tempat.
Kini, matahari itu telah terbenam. Mudah-mudahan
semua amal & pengabian beliau mendapatkan balasan terbaik &
dikumpulkan di surga bersama Kakeknya, Al-Mustofa SAW. Juga, penerusnya
sanggup meneruskan perjuangan dakwahnya.
Semoga kelak muncul
bintang-bintang yang akan menggantikan sinar matahari ini, meski sulit
tuk menandingi kehebatan sinar Sang Surya. SEMOGA..
Sumber: Islam Esensial, dll
0 komentar:
Posting Komentar